Friday, April 18, 2008

Berbagi dalam Kekurangan

Oleh : Angelina Kusuma

Ia adalah teman dekat saya ketika SMU. Sejak lulus sekolah, kami jarang bertemu. Setelah hampir tujuh tahun kami disibukkan oleh jadwal kuliah pilihan masing-masing dan kota yang berjauhan, akhirnya kami dipertemukan kembali dalam suasana yang jauh berbeda minggu lalu.

Siang itu ia menyempatkan diri untuk datang ke tempat kerja saya. Tidak naik kendaraan sendiri, karena setahu saya anak ini memang takut untuk mengendarai kendaraan, entah itu sepeda, sepeda motor, ataupun mobil sejak SMU. Ia berkata bahwa kali ini ia datang ke tempat kerja saya dengan diantar oleh rekan sekerjanya yang rumahnya tak jauh dari tempat kerja saya.

Sebagai mana mestinya dua orang sahabat yang sudah terpisah tujuh tahun, akhirnya kami tenggelam dalam nostalgia dan pembicaraan tempo dulu, saat kami melangkah bersama-sama dalam bingkai anak sekolahan. Ketika pembicaraan mulai membahas masalah yang sedikit serius, akhirnya ia bercerita mengenai kejadian yang menimpanya dan keluarganya pada tanggal 26 Desember 2007 yang lalu.

Saat itu, banjir besar memang melanda kota tempat saya tinggal. Banjir terparah selama saya hidup di kota ini dan belum pernah sekalipun menimpa kota saya sehebat hari itu - Puji Tuhan, rumah dan tempat kerja saya terhindar dari bencana banjir. Hari itu ternyata rumah teman saya yang tak jauh dari pusat kota ikut terimbas. Air masuk ke rumahnya sekitar jam dua dini hari dan membuat rumahnya tergenang setinggi dada orang dewasa - sekitar satu meter.

Mendengar berita tersebut saya cukup terkejut. Daerah tempat tinggal teman saya tersebut masuk dalam wilayah aman banjir selama ini. Ia pun bercerita bahwa baru kali itulah ia dan keluarganya mengalami banjir besar yang menggenangi rumahnya dan membuat mereka terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, yaitu dirumah ketua RT-nya.

Banjir tersebut membuat keluarganya kehilangan banyak harta benda termasuk barang elektronik, mulai dari TV, mesin cuci, kulkas, play stations, dan juga barang-barang lainnya.

"Habis semua pokoknya, Ngel ..."

Saya terdiam. Saya membayangkan kondisi keluarga teman saya ini sekarang. Ia terlahir dari dua bersaudara - ia perempuan sebagai anak pertama dan adiknya laki-laki. Ayahnya hanya seorang pensiunan pegawai negeri sipil sejak ia SMU, sedangkan ibunya sejak dulu hanya seorang ibu rumah tangga. Ia sendiri baru berstatus magang kerja disebuah departeman milik pemerintah yang gajinya kurang dari Rp. 200.000,- sebulan. Mungkin yang menjadi tulang pungung keluarganya sekarang adalah adiknya yang bekerja sebagai karyawan diperusahaan swasta di kota tetangga kami.

Yang semakin membuat saya takjub dengan teman saya ini adalah ketegarannya menghadapi musibah tersebut. Ia datang ke tempat kerja saya tidak dengan tangan hampa seperti layaknya seseorang yang baru saja tertimpa musibah. Ia datang dengan membawakan sekantung tas kresek berisi buah apel dan rambutan.

"Aku tahu kalo kamu lagi kerja sok lupa makan siang, makanya aku kesini bawa buah pemberian teman kantor tadi". Saya tersenyum getir.

Berapa banyak orang yang masih ingat untuk berbagi dengan orang lain saat hidupnya sendiri sedang pailit ? Saya rasa teman saya ini termasuk dalam kategori orang luar biasa. Mampu berbagi dengan orang lain saat kehidupannya kekurangan adalah sebuah anugerah. Tidak semua orang bisa melakukannya dengan iklas - termasuk saya. Darinya, saya belajar untuk lebih peduli lagi dengan lingkungan sekeliling saya, belajar untuk menghargai kehidupan seburuk apapun itu, dan belajar menghargai pemberian orang lain. Kita tidak tahu apakah dibalik senyum seseorang memang benar-benar ada sukacita atau sebenarnya ada ratapan. Apakah dibalik pemberian seseorang ada kerja keras untuk memberikannya atau itu diberi dari kelimpahannya.

Yesus menghargai persembahan janda miskin yang hanya memasukkan dua peser uang ke kotak persembahan Bait Tuhan. Ia menghargai pemberian dari seseorang yang kekurangan dalam hidupnya dan menjadikannya sebuah teladan untuk pengajaran kepada murid-muridnya dan kita. Apa yang diperbuat oleh teman saya ini juga hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh janda miskin tersebut. Ia tidak pernah mengeluhkan harta bendanya yang hilang atau rusak akibat banjir yang melanda seluruh rumahnya tiga bulan yang lalu. Ia tidak lantas menyerah pada nasif dan menjadi orang pelit hanya karena tidak mempunyai barang berharga lagi. Tetapi ia memberi saya sebuah contoh, bahwa berbagi berkat saat kita kekurangan, jauh lebih berharga daripada kita berbagi berkat dengan orang lain saat kita berkelimpahan.

Markus 12:41-44, Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya."



No comments: