Thursday, April 17, 2008

Money Oriented vs Assets Oriented

Oleh : Angelina Kusuma

Pertengahan bulan November lalu saya menerima seorang mantan teman sekelas waktu SMU di rumah. Kami pernah dua tahun sekelas yaitu di kelas 1 dan 2 SMU. Hanya di kelas 3 kami berpisah karena memilih jurusan yang berbeda. Dia memilih IPS sedangkan saya memilih IPA.

Percakapan kamipun dibuka dengan menanyakan kabar masing-masing sebagai basa-basi. Lama-kelamaan pembicaraan tentu saja mengarah ke soal kenangan masa lalu dan pekerjaan. Dan pada akhirnya teman saya ini bercerita panjang lebar mengenai kisahnya setelah kita sama-sama lulus dari SMU.

Selulus dari SMU saya memang langsung diterima disebuah universitas negeri di Surabaya, jadi saya tidak mengetahui tentang kabar teman-teman saya yang lain. Dan setelah kuliah di Surabayapun saya jarang pulang ke rumah karena kesibukan saya. Makanya lengkap sudah keterasingan saya akan kabar-kabar teman semasa SMU. Hanya beberapa teman dekat saja yang tetap berkomunikasi melalui surat - zaman saya diawal kuliah belum mengenal tentang e-mail - untuk bertukar kabar lewat surat pos.

Setelah lulus dari SMU, teman saya ini sempat mengikuti bimbingan belajar untuk menempuh UMPTN - sekarang namanya SPMB - di kota Malang. Sayangnya dia tidak berhasil lolos UMPTN dan juga tes-tes D3 yang diadakan oleh universitas negeri di Malang. Makanya dia kembali ke kota kami dan mengganggur selama setahun. Tahun berikutnya dia mengambil program sarjana di kampus swasta di kota kami dan memilih program Manajemen.

Selesai memperoleh gelar S1-nya, dia kemudian mengadu nasif dengan melamar pekerjaan di luar kota. Sempat dua kali pindah kerja. Pertama diterima kerja di Surabaya bagian produksi kemudian pindah tempat ke perusahaan di Gresik bagian data entri. Sebenarnya kalau dilihat dari latar belakang program mata kuliahnya, pekerjaan yang kedua lebih tepat sasaran. Tetapi anehnya dia justru tidak betah menjalani kedua pekerjaan tersebut. Sekarang, setelah dia keluar dari tempat kerjanya yang kedua dia terpaksa mengganggur sejak empat bulan yang lalu.

Kontan saya mengerutkan pelipis saya mendengar cerita dari teman saya ini. Dahulu saya juga sempat pindah kerja dua kali selulus dari universitas saya di Surabaya. Kedua pekerjaan saya itu adalah posisi yang sesuai dengan program mata kuliah yang saya pelajari, saya menyukai kedua tempat kerja saya, saya mencintai pekerjaan saya, tetapi bukan dengan penghasilan yang saya peroleh daripadanya. Dilain pihak saya memang sudah mempunyai tekad untuk mempunyai usaha sendiri dibawah naungan bisnis saya. Itulah kenapa ketika ada kesempatan yang memungkinkan saya untuk membuka usaha sendiri, saya lantas meninggalkan pekerjaan saya sebelumnya.

"Bukannya Ibumu punya sebuah usaha kelontong di rumah ?", tiba-tiba saja saya teringat tentang hal ini. Bagian depan rumah teman saya ini memang digunakan untuk usaha kelontong oleh Ibunya yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Tetapi begitu saya mendapat gelengan kepala pelan dari teman saya itu, barulah saya sadar bahwa dia tidak tertarik sama sekali untuk menekuni usaha yang sama dengan Ibunya. Mungkin dia fikir bahwa ijazah sarjananya terlalu berharga untuk mengusahakan bisnisnya sendiri.

Pikiran seperti itu juga pernah bersarang di otak saya lima tahun yang lalu. Saya merasa bahwa prinsip, "Sekolahlah yang pintar setelah itu carilah pekerjaan tetap yang bisa menghidupimu", adalah sebuah prinsip yang memang layak untuk saya pegang. Ditambah lagi dahulu saya pernah mempunyai seorang Pimpinan yang menanamkan prinsip, "Bekerjalah sesuai dengan bidang", di kepala saya. Lengkap sudah sebuah pendirian kuat bahwa setelah selesai kuliah mutlak mencari pekerjaan itu tertanam dalam di kepala saya.

Saya tidak menyalahkan jika ada seseorang berpendapat demikian. Karena memang hal itulah tradisi didalam mayoritas keluarga Indonesia. Apalagi jika anda dibesarkan disebuah keluarga PNS - Pegawai Negeri Sipil. Prinsip bahwa dengan menjadi PNS anda kan hidup terjamin sampai masa pensiun mungkin juga tercetak bersama bertambahnya pertumbuhan tubuh anda. Kenapa saya tahu hal ini ? Karena kedua orang tua saya adalah PNS. Dan hampir seluruh keluarga besar saya menjadi bagian dari PNS dan tentara. Sangat sulit untuk mematahkan sebuah prinsip yang sudah tertanam dalam sanubari manusia jika itu sudah menurun dari generasi ke generasi berikutnya.

Pertama kali saya memutuskan untuk menjadi seorang pengusaha/wiraswasta, juga mendapat tentangan bukan hanya dari keluarga kecil saya saja. Tetapi dari seluruh keluarga besar saya. Saya sampai harus menolak ajakan untuk menjadi PNS selama tiga tahun berturut-turut. Padahal untuk masuk ke PNS di Indoensia uang pangkalnya bisa mencapai 40 juta sampai 100 juta tergantung jenisnya. Mengerikan bukan ? PNS adalah ladang KKN terbesar di Indonesia. Itulah salah satu alasan kenapa saya menolak menjadi PNS.

Melihat respon teman saya yang tidak berminat mengembangkan potensi usaha keluarganya, saya kemudian berandai-andai. Salah satu target saya dimasa depan juga mempunyai sebuah usaha kelontong sendiri. Dilain pihak, saya heran dengan teman saya yang sudah mempunyai potensi impian saya itu, tetapi tidak berkeinginan memelihara apalagi memajukannya. Aneh bukan dunia ini ?

Yang jelas bagi saya, jika anda ingin sukses dimasa depan, jangan pernah menggantungkan diri anda kepada orang lain. Prinsip bahwa : setelah kuliah/sekolah harus mempunyai pekerjaan tetap yang sesuai bidang itu hanyalah sebuah idealisme membabi buta. Dan prinsip setelah selesai kuliah/sekolah kita harus mencari pekerjaan dengan penghasilan tinggi itu juga sebuah pendapat yang keliru.

Coba renungkan, di zaman yang serba susah mencari pekerjaan seperti sekarang ini, masih relevankah prinsip-prinsip diatas ? Jika anda berpendapat bahwa setelah kuliah/sekolah anda akan membuka usaha sendiri, kepada andalah saya mengangkat kedua jempol saya - tentunya disertai dengan usaha yang sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku.

Tangan memberi sampai kapanpun akan selalu lebih terhormat daripada tangan yang menerima. Begitu juga seorang pengusaha/wiraswasta yang bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain jauh lebih dibutuhkan saat ini ketimbang anda terus menggantungkan diri dan mencari pekerjaan dengan cara lompat sana-sini.

Kenali potensi diri dan apa yang ada ditangan anda sekarang, kemudian mulai membuka celah usaha. Modal usaha tidak perlu mahal. Modal akan mudah dicari jika pola pikir kita sudah benar terlebih dahulu dan ada kemauan keras untuk itu. Jangan pernah sia-siakan kesempatan dan potensi yang telah anda miliki seperti teman saya diatas. Dia memandang terlalu jauh ke depan dan dibutakan oleh prinsip aneh warisan nenek moyang Indoensia yang tidak jelas. Harusnya prinsip tersebut dilempar jauh-jauh ke jurang. Dan kalau perlu harus diadakan perubahan sistem belajar di Indoensia agar tidak hanya mengajarkan job and money oriented tetapi sudah mengacu kepada assets oriented. Karena aset dalam bentuk usaha atau bisnis pribadi itu jauh lebih berharga daripada pekerjaan yang anda gantungkan kepada perusahaan atau orang lain.

Aset anda bisa berkembang sesuai dengan langkah pengembangan anda. Tetapi pekerjaan anda justru bisa terhenti jika perusahaan sudah tidak mau menggunakan jasa anda atau perusahaan anda gulung tikar. Anda pilih yang mana ?



No comments: